Dear,
“
Itulah sepenggal kalimat yang diambil dari salah satu banner YPMA (Yayasan Pengembangan Media Anak) untuk mendukung hari tanpa TV. Yayasan tersebut adalah pionir untuk hari tanpa TV yang pertama kali dicetuskan pada tahun 2006 lalu. Pertanyaan yang timbul adalah, ada apa dengan TV? Mengapa timbul himbauan untuk mematikannya walau hanya sehari?.
Mungkin tidak terbersit dalam benak seorang ilmuwan Jerman, Karl Ferdinand Braun pada tahun 1897, ketika pertama kali ia menciptakan Tabung Sinar Katoda yang menjadi dasar televisi layar tabung, bahwa benda itu menjadi sebegitu kuatnya mempengaruhi masyarakat. Mungkin juga tidak terpikir olehnya bahwa benda itu akan sangat efektif membentuk perkembangan jiwa seorang anak kecil menjadi remaja hingga ia dewasa. Mempengaruhi pikiran seseorang yang akhirnya menetukan arah tindakan.
Berbagai teori dalam ILmu Komunikasi mengkaji peran dan dampak TV, satu yang paling terkenal adalah Cultivation Theory oleh George Gerbner (1978).
Masih ingatkah anda pada kasus beberapa waktu yang lalu, tentang seorang anak laki-laki yang meng-smack down temannya hingga tewas? Secara garis besar, itulah bukti dari teori Gerbner. Bahwa TV menerpa penontonnya dengan tayangan-tayangan yang ketika semakin tinggi frekuensi penonton melihatnya maka akan terbentuk pikiran dan perilaku yang mengadaptasi tayangan-tayangan itu. Gerbner adalah seorang dekan di Anneberg School for Communication di
Maka tidak heran jika tayangan Smack Down yang ditayangkan di TV –bahkan di jam tayang yang anak-anak bisa menontonnya—dengan sukses membentuk pikiran anak laki-laki mengenai diri mereka yang harus sesuai dengan apa yang ditayangkan di TV. Bahwa laki-laki yang kuat adalah laki-laki yang bisa mengalahkan lawannya atau laki-laki yang kuat adalah ketika tidak ada yang bisa secara fisik mengalahkannya. Yang akhirnya diimplementasikan oleh si anak ke teman-temannya lalu jatuhlah korban. Bukan hanya smack Down, tayangan-tayangan seperti naruto, One Piece yang bahakan juga disusupi seks, semuanya menyuguhkan kekerasan, darah pertikaian diakhiri oleh pembunuhan. Sedih memang jika melihat apa yang diberikan oleh TV Indonesia kepada pemirsanya terutama pemirsa anak-anak. Mayoritas hanyalah kebiasaan buruk dan jatuhnya korban.
Selain itu rangkaian kartun dari pagi hingga malam disajikan untuk menggoyahkan keinginan anak untuk belajar. Data yang diperoleh dari YPMA pada tahun ini menujukkan bahwa dari keseluruhan tayangan untuk anak hanya 30% yang benar-benar aman untuk ditonton, sisanya berada dalam kategori ‘hati-hati’ dan ‘berbahaya’. Pantas memang jika TV harus dimatikan walau hanya satu hari, karena TV secara umum tidak memberikan dampak yang bagus. Jadi, untuk
Ibu, Lupa atau Terlena
Kenyataan social yang ada sekarang sesuai dengan yang ‘diramalkan’ oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw dalam teori Agenda Setting. McCombs dan Shaw mengatakan “menganggap penting apa yang media anggap penting” (1972). Dan itulah yang melanda masyarakat
Sebenarnya tidak ada yang mengkhawatirkan dari apa yang dikatakan oleh McCombs dan Shaw dalam teorinya, namun yang menjadi masalah adalah ketika media—dalam hal ini Televisi sebagai pemberi dampak yang paling kuat—menyajikan hal-hal yang tidak layak atau tidak sepantasnya disajikan. Bisa dilihat dari materi tayangan televisi swasta
Tidak lagi penting bagi si ibu untuk memeriksa apa yang dipelajari oleh anaknya di sekolah. Apa yang dilalui si anak di sekolah, apakah dia mememui masalah atau tidak, apakah si anak mempunyai pekerjaan rumah yang harus diselesaikan atau tidak. Yang mayoritas dipikirkan si ibu adalah betapa teganya suami si artis anu selingkuh dengan istri si artis anu. Mengapa ini bisa terjadi? Memang tidak bisa disangkal bahwa sifat dasar manusia adalah rasa ingin tahu, Karena itu adalah konsekuensi dari keberadaan akal yang diberikan oleh Sang Pencipta sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Namun dibalik itu, dan karena konsekuensi akal itu pula lantas manusia mempunyai kemampuan untuk memilih, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Namun kasus yang ada di Indonesia bisa diasumsikan bahwa masyarakat tidak punya pilihan, apalagi para ibu rumah tangga yang diasupi oleh media secara terus-menerus dengan info-info yang tidak berperan penting dalam kehidupan mereka. sehingga lama kelamaan menggeser apa yang penting bagi mereka bahkan menggeser identitas diri mereka atau bahkan membenarkan stereotype –entah siapa yang menciptakan—bahwa ibu-ibu adalah pelaku utama pergunjingan.
Jika sang ibu sibuk dengan infotainment, dan si anak tidak beranjak dari kartun dengan kategori berbahaya. Bisakah anda bayangkan masa depan bangsa ini akan seperti apa? Ya iyalah masa iya dong, Mulan aja jamilah masa jamidong…? Adalah Madesu*
Oryza Sativa
Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP UI
IMIKI Media Watch
*Masa Depan Suram