Senin, 08 September 2008

Sehari Tanpa TV? Mengapa?


Dear, Om dan Tante TV

Om dan tante..mana kreativitasmu? Ayo dong buat acara TV yang sesuai dengan umur kami”.

Itulah sepenggal kalimat yang diambil dari salah satu banner YPMA (Yayasan Pengembangan Media Anak) untuk mendukung hari tanpa TV. Yayasan tersebut adalah pionir untuk hari tanpa TV yang pertama kali dicetuskan pada tahun 2006 lalu. Pertanyaan yang timbul adalah, ada apa dengan TV? Mengapa timbul himbauan untuk mematikannya walau hanya sehari?.

Mungkin tidak terbersit dalam benak seorang ilmuwan Jerman, Karl Ferdinand Braun pada tahun 1897, ketika pertama kali ia menciptakan Tabung Sinar Katoda yang menjadi dasar televisi layar tabung, bahwa benda itu menjadi sebegitu kuatnya mempengaruhi masyarakat. Mungkin juga tidak terpikir olehnya bahwa benda itu akan sangat efektif membentuk perkembangan jiwa seorang anak kecil menjadi remaja hingga ia dewasa. Mempengaruhi pikiran seseorang yang akhirnya menetukan arah tindakan.

Berbagai teori dalam ILmu Komunikasi mengkaji peran dan dampak TV, satu yang paling terkenal adalah Cultivation Theory oleh George Gerbner (1978).

Masih ingatkah anda pada kasus beberapa waktu yang lalu, tentang seorang anak laki-laki yang meng-smack down temannya hingga tewas? Secara garis besar, itulah bukti dari teori Gerbner. Bahwa TV menerpa penontonnya dengan tayangan-tayangan yang ketika semakin tinggi frekuensi penonton melihatnya maka akan terbentuk pikiran dan perilaku yang mengadaptasi tayangan-tayangan itu. Gerbner adalah seorang dekan di Anneberg School for Communication di University of Pennsylvania. Ia mengklaim bahwa dunia yang ditampilkan di TV adalah dunia yang terbentuk dalam pikiran seseorang. Kekerasan yang masyarakat lihat di TV akan membiakkan pemikiran dunia yang menakutkan dan tidak aman, bahwa tidak ada lagi orang asing yang dapat dipercaya dan tidak ada lagi lingkungan yang aman.

Maka tidak heran jika tayangan Smack Down yang ditayangkan di TV –bahkan di jam tayang yang anak-anak bisa menontonnya—dengan sukses membentuk pikiran anak laki-laki mengenai diri mereka yang harus sesuai dengan apa yang ditayangkan di TV. Bahwa laki-laki yang kuat adalah laki-laki yang bisa mengalahkan lawannya atau laki-laki yang kuat adalah ketika tidak ada yang bisa secara fisik mengalahkannya. Yang akhirnya diimplementasikan oleh si anak ke teman-temannya lalu jatuhlah korban. Bukan hanya smack Down, tayangan-tayangan seperti naruto, One Piece yang bahakan juga disusupi seks, semuanya menyuguhkan kekerasan, darah pertikaian diakhiri oleh pembunuhan. Sedih memang jika melihat apa yang diberikan oleh TV Indonesia kepada pemirsanya terutama pemirsa anak-anak. Mayoritas hanyalah kebiasaan buruk dan jatuhnya korban.

Selain itu rangkaian kartun dari pagi hingga malam disajikan untuk menggoyahkan keinginan anak untuk belajar. Data yang diperoleh dari YPMA pada tahun ini menujukkan bahwa dari keseluruhan tayangan untuk anak hanya 30% yang benar-benar aman untuk ditonton, sisanya berada dalam kategori ‘hati-hati’ dan ‘berbahaya’. Pantas memang jika TV harus dimatikan walau hanya satu hari, karena TV secara umum tidak memberikan dampak yang bagus. Jadi, untuk Om dan Tante, dengarkanlah keluhan dari pemirsa setiamu, jangan khianati kepercayaan mereka dengan menyuguhkan tayangan-tayangan yang justru tidak baik untuk mereka bahkan justru menumpulkan kemampuan berpikir.

Ibu, Lupa atau Terlena

Kenyataan social yang ada sekarang sesuai dengan yang ‘diramalkan’ oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw dalam teori Agenda Setting. McCombs dan Shaw mengatakan “menganggap penting apa yang media anggap penting” (1972). Dan itulah yang melanda masyarakat Indonesia sekarang ini. Pikiran masyarakat ditentukan oleh media, seakan-akan ketika TV mulai dinyalakan, loper Koran mulai menyebarkan Koran, penyiar radio mulai memutarkan lagu-lagu—mayoritas barat—dan bercas-cis-cus menyapa pendengar, media mengatakan “Inilah yang harus anda pedulikan hari ini”. Semua isu, apa-apa yang penting tentang pendidikan, kesejahteraan, ekonomi, politik, budaya, social dan yang menduduki peringkat teratas adalah pergaulan, semuanya diatur oleh media, apa yang tidak ditampilkan oleh media adalah hal yang tidak penting bahkan bukan suatu hal yang harus dipikirkan. Maka jangan heran jika semua hal di Indonesia ini ada ‘masa’ nya atau sebutlah ‘yang sedang in’. Sampai sedekah atau bantuan bencana alam-pun ada masanya, walau kenyataannya bencana alam itu belum juga selesai bahkan bertambah parah, hanya karena sudah tidak in lagi dan tidak akan diliput oleh TV, maka tidak ada lagi yang bersedekah atau peduli.

Sebenarnya tidak ada yang mengkhawatirkan dari apa yang dikatakan oleh McCombs dan Shaw dalam teorinya, namun yang menjadi masalah adalah ketika media—dalam hal ini Televisi sebagai pemberi dampak yang paling kuat—menyajikan hal-hal yang tidak layak atau tidak sepantasnya disajikan. Bisa dilihat dari materi tayangan televisi swasta Indonesia, dimana rating telah mejadi dewa. Tanpa peduli pada kualitas dan tujuan , hanya peduli pada aspek pengembalian dari apa yang ditayangkan-baca: profit. Contohnya adalah infotainment, kemampuan ibu-ibu rumah tangga –yang katanya sangat ‘gape’-- dalam menggunjingkan orang semakin diasah dengan sajian-sajian infotainment yang berurutan dari pagi hingga malam di berbagai stasiun Tv swasta, bisa dibayangkan jadwal ibu-ibu rumah tangga Indonesia, bangun pagi jam 5.00 lalu menyapu halaman ,lalu pergi ke pasar atau warung sayuran terdekat untuk berbelanja bahan-bahan makanan , menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak. Sekitar pukul 07.00 ketika suami sudah berangkat ke kantor dan anak-anak berangkat ke sekolah, sambil ditemani Informasi Selebritis pagi(insert) mulailah si ibu mengolah bahan makanan yang sudah di beli tadi. Sambil mengupas bawang atau memotong tomat dan menyiangi bayam, si ibu dengan seksama menyimak berita-berita seputar selebritis mulai dari kisah cinta, perceraian, karir yang menurun atau selebriti muda yang sedang naik daun. Terkadang sambil mendengarkan pembawa acara memaparkan cerita , si ibu mengumpat-umpat sendirian mendengar cerita tentang suami artis anu yang berselingkuh dengan istri si artis anu, bahkan terkadang bahasa yang digunakan pembawa acara cenderung mengarahkan penonton—bukan hanya ibu-ibu—untuk memiliki prasangka negative terhadap suatu kasus, misalnya “Benarkah cinta Bambang pada Mayangsari memang cinta yang timbul dari hati? Apakah Mayang tidak meminta pertolongan siapapun untuk mendapatkan cinta Bambang?”. Sehingga si ibu semakin seksama menyimak dan ber ‘ooh…ooh…’ dalam hati, seakan setuju dengan si pembawa acara, hingga tanpa disadari oleh si ibu bahwa ia telah didikte habis-habisan oleh media. Apa yang dipikirkan dan bagaimana memikirkannya. Dan ketika matahari telah 90% dari kemiringan bumi, tibalah waktunya melipat pakaian yang telah kering untuk disetrika sore harinya, sambil ditemani insert siang. Si Ibu dengan tidak sabar ingin tahu bagaimana kelanjutan berita mengenai perselingkuhan suami artis anu dengan istri si artis anu. Jika si Ibu mengharapkan laporan mendalam dari kasus perselingkuhan tersebut si ibu tidak perlu khawatir karena semuanya akan di kupas tuntas dalam insert investigasi.

Tidak lagi penting bagi si ibu untuk memeriksa apa yang dipelajari oleh anaknya di sekolah. Apa yang dilalui si anak di sekolah, apakah dia mememui masalah atau tidak, apakah si anak mempunyai pekerjaan rumah yang harus diselesaikan atau tidak. Yang mayoritas dipikirkan si ibu adalah betapa teganya suami si artis anu selingkuh dengan istri si artis anu. Mengapa ini bisa terjadi? Memang tidak bisa disangkal bahwa sifat dasar manusia adalah rasa ingin tahu, Karena itu adalah konsekuensi dari keberadaan akal yang diberikan oleh Sang Pencipta sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Namun dibalik itu, dan karena konsekuensi akal itu pula lantas manusia mempunyai kemampuan untuk memilih, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Namun kasus yang ada di Indonesia bisa diasumsikan bahwa masyarakat tidak punya pilihan, apalagi para ibu rumah tangga yang diasupi oleh media secara terus-menerus dengan info-info yang tidak berperan penting dalam kehidupan mereka. sehingga lama kelamaan menggeser apa yang penting bagi mereka bahkan menggeser identitas diri mereka atau bahkan membenarkan stereotype –entah siapa yang menciptakan—bahwa ibu-ibu adalah pelaku utama pergunjingan.

Jika sang ibu sibuk dengan infotainment, dan si anak tidak beranjak dari kartun dengan kategori berbahaya. Bisakah anda bayangkan masa depan bangsa ini akan seperti apa? Ya iyalah masa iya dong, Mulan aja jamilah masa jamidong…? Adalah Madesu*

Oryza Sativa

Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP UI

IMIKI Media Watch

*Masa Depan Suram